SEJARAH SEKOLAHKU MAN TAMBAKBERAS



Rintisan awal berdirinya MAN Tambakberas Jombang, telah dimulai sejak tahun 1954, dengan nama Madrasah Mu’alimin (Mu’allimat) Atas 4 tahun atau MMA yang didirikan oleh para Ulama dan diprakarsai oleh Al-Maghfurlah KH. Fatah Hasyim. Ciri khas utama MMA adalah merupakan lembaga pendidikan Pondok Pesantren dengan mengutamakan kajian kitab-kitab kuningnya dan berada di lingkungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur.Seiring dengan perhatian Orang Tua / Wali murid dari tahun ke tahun semakin bertambah pesat, ini ditandai dengan semakin banyaknya siswa-siswi yang berdatangan dari berbagai penjuru Indonesia, pemikiran-pemikiran inovatif terus dilakukan. Untuk peningkatan mutu, dimunculkan gagasan menambah masa studi, dari 4 tahun menjadi 6 tahun, dan diberi nama Madrasah Mu’allimin Muallimat Atas 6 Tahun (MMA). Seiring dengan kemajuan Madrasah dan tuntutan peningkatan mutu pendidikan nasional, maka pada tahun 1969 berdasarkan SK. Menag No. 23 Tanggal 4 Maret 1969, Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Atas di Negerikan dengan perubahan kelas 1, 2, 3 menjadi Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN), dengan kepala sekolah Bapak Drs. H. Moh. Syamsul Huda As, SH., dan kelas 4, 5, 6 menjadi Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN), dengan kepala Al Maghfurlah KH. Al Fatich Abd. Rohim. Pada tahun 1980, MAN memiliki 3 (tiga) program jurusan, yaitu: program Agama, IPA dan IPS. Pada tahap berikutnya, muncul kebijakan baru dari Depag RI yang menghapus program Agama, maka MAN Tambakberas merespon perubahan itu dengan mengganti program baru, yaitu bahasa. Sampai sekarang ini MAN Tambakberas Jombang membuka program jurusan Bahasa, IPA (kelas Unggulan, Reguler, dan program ketrampilan) dan IPS. Dalam perkembangan berikutnya, agar Madrasah Aliyah Negeri (MAN) benar-benar dapat melaksanakan kurikulum Depag RI secara penuh dan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat atas (MMA) tetap berjalan sesuai ciri khas utama Pondok Pesantren, yaitu kurikulum yang lebih banyak memporsikan kajian kitab-kitab kuning, maka Madrasah ini dipisahkan menjadi MMP dan MTsAIN (setingkat SLTP) dan MMA dan MAAIN (setingkat SMA). Dengan adanya pemisahan ini maka MAN Tambakberas Jombang dapat lebih fokus dalam pembinaan dan menjadi semakin berkembang hingga saat ini. Pada tahun 1980 terjadi alih tugas kepimpinan, Bapak KH. Ach. Al Fatich Ar. ditugaskan menjadi kepala MTsAIN dan Bapak Drs. KH. Moh. Syamsul Huda As. SH menjadi kepala Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) yang sekarang menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri). Pada tahun 1980, MAN memiliki 3 (tiga) program jurusan, yaitu: program Agama, IPA dan IPS. Pada tahap berikutnya, muncul kebijakan baru dari Depag RI yang menghapus program Agama, maka MAN Tambakberas merespon perubahan itu dengan mengganti program baru, yaitu bahasa. Sampai dengan sekarang ini MAN Tambakberas Jombang memiliki program jurusan: Bahasa, IPA (kelas Unggulan, Reguler, dan program ketrampilan) dan IPS. Hingga saat ini MAN Tambakberas telah melalui 5 periode kepemimpinan, beliau adalah: 1. Bapak KH Ach. Alfatich AR. (Alm) 2. Bapak Drs. KH Moh. Syamsul Huda AS, SH, M.Hi. 3. Bapak Drs. H. Abd. Madjid. 4. Bapak Drs. H. Moh. Azam, M.Sc. 5. Bapak Drs. H. Ahsan Sutari, M.Pd. http://mantambakberas.com/sejarah/

BIOGRAFI MBAH KHOLIL BANGKALAN

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantrenSekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran). Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka. Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kh.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri . Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini. Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH. Ghozi. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil. ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini. di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/kyaipedia-kh-muhammad-cholil-bangkalan/

PROFIL MBAH BISRI DENANYAR


RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar Bisri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itumendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan. Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP. Diakui atau tidak, ia adalah penerus Wahab Chasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik di NU, PPP, maupun DPR. Setelah Wahab wafat pada 1971, ia menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais am, yang ditetapkan setelah wafatnya Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan wakil. Bisri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/26 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi ajaran Islam. Umur tujuh tahun, ia belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu ia mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu ia ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan. Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada Kiai Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman akrab dengan Wahab Chasbullah. Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad. Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama Wahab (1912). Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas. Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas. Pada 1917, atas bantuan mertua, ia membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, Wahab, pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang Wahab ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya. Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari. Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal secara luas. Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim Asy`ari, gurunya. Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata. Di pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih masuk DPR. K.H. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun. http://majalah-alkisah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=446:sepuluh-tokoh-berpengaruh-nu-dari-hasyim-asyari-sampai-presiden-ri&catid=14:dunia-islam&Itemid=4

Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman.K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman. Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang. Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya. Pada umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren Siwalan Panji). Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah. Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz. Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar. Tahun 1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya, Nafisah. Selama di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Selama hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah, antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari Pesantren Kapurejo, Kediri. Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia. Kiai Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai. Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya. Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab. NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab. Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun. http://majalah-alkisah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=446:sepuluh-tokoh-berpengaruh-nu-dari-hasyim-asyari-sampai-presiden-ri&catid=14:dunia-islam&Itemid=4

BIOGRAFI MBAH WAHAB TAMBAKBERAS

Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?). Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang). Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said. Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak. Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur. Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU. Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang. Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo. Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis. Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya. Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia Belanda. Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam. Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya. Meski Masyumi adalah organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang. November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan. Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA. Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU. Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin. Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI. Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU. K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.

MBAH SUNAN KALIJAGA

kalijogo1.jpg (12661 bytes) Sunan Kalijaga yang hidup di jaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad 15) aslinya bernama Raden Said, adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil.Melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada Ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 (dua ratus) kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh Ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh Ayahnya dari Kadipaten. Iapun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Suatu waktu ia berjumpa dengan Sunan Bonang, dan dibawa ke Tuban untuk menjadi muridnya, memperdalam agama Islam. Lalu akhirnya ia menjadi pengembara yang menyebarkan agama Islam (sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya), yang dihari tuanya ia tinggal dan meninggal di desa Kadilangu Demak. Ia dikenal sebagai Mubaligh/Da’i keliling, ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia disebagian tempat juga dikenal bernama Syekh Malaya. Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di Masjid guna mengerjakan sholat jama’ah. Acara ritual berupa Gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali di Masjid Demak untuk memperingati maulud nabi, menciptakan Gong Sekaten bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakana bahwa mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam, pencipta Wayang Kulit diatas kulit kambing, sebagai Dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar) wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli tata kota seperti misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan Alun-alun serta pohon beringin dan masjid. Sebagai penutup, kami tuliskan teks tembang Lir Ilir, sebagai berikut : Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro, Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba mengko sore, Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee. Suka atau tidak suka, pada kenyataannya Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai gurunya atau dewanya Islam bagi besar orang sebagian Jawa.